Atap Untuk Berteduh

Menjadi seorang perantauan itu mungkin sudah banyak dilalui oleh pemuda saat ini. Merantau di ibukota. Atau merantau di kota-kota besar lain di Indonesia, Semisal Surabya, Medan, Bandung, Makassar dan lainnya. Tetapi Perantuan dengan kondisi menjadi pengangguran. Banyak hutang dan disana sini di tagih? Mungkin aku salah satu dari sedikit orang yang tidak beruntung itu.
Harapan, Motivasi
Harapan

Sebulan lalu di kamar kostku di kota Surabaya ini, aku kedatangan tamu. Tamunya pemilik kamar kost. Jika hari ini aku belum bisa melunasi tiga bulan sewa kamar kostku, maka besok pagi kamar ini sudah harus bersih. Yah, mungkin karena aku tidak tahu waktu, jangankan besok pagi, sore ini pun kamar kostku sudah bersih. Barang-barangku sudah kukemas rapi. Setidaknya itu menjawab permintaan dari pemilik kost. Walau pertanyaan berikutnya, kemana akan kubawa tubuhku? Tidak bisa aku jawab.
Entahlah besok pagi aku harus kemana.
Mungkin jika minggu lalu aku masih bisa bekerja di perusahaan itu, aku masih cukup mampu untuk setidaknya menaruh barang-barangku ke gudang perusahaan dan tinggal disana beberapa waktu. Sayangnya itu tidak mungkin. Menjadi pengangguran tanpa pesangon. Jaman sekarang mana ada pesangon dari system outsourcing? Tidak bakalan ada. Tabungan pun habis untuk sedikit menyempitkan hutang. Selain besok aku tidak tahu harus kemana. Kali ini aku sadar, besok juga aku tidak bisa menjawab apa yang besok bisa ku makan.
Di dompet hanya sisa sepuluh ribu rupiah. Itu pun dalam pecahan melati semua. Setidaknya aku bisa bersyukur. Dengan melati itu, umurku masih bisa bertahan semalam ini. Karena seharian aku sudah tidak bisa makan.
Si joko kemarin sama susahnya denganku. Meski uangku hanya sedikit yang dipinjamnya, tetapi itu satu satunya harapan yang kini bisa kulihat. Hutang seratus ribu setahun lalu. Jika tidak karena terpaksa, mungkin seratus ribu itu sudah kulupakan. Datang kepadanya pun ternyata tidak membuat hutang seratus ribuku kembali. Masih beruntung seandainya aku menemukan temanku itu dalam keadaan tidak membayar hutang karena tidak bisa bayar hutang.  Yang membuat aku sedih, ternyata memang temanku itu tidak berniat membayar hutang. Itu artinya, kali ini aku harus menerima dengan terpaksa, bahwa seratus ribuku itu telah hilang.
Yang jadi masalah berikutnya, bukan seratus ribunya. tetapi pertemanannya. Kepercayaan ini hilang seharga seratus ribu. Ah, mungkin untuk makan setiap hari, aku hanya perlu mencari satu teman, dan menjualnya esok hari seharga seratus ribu. Dengan begitu aku tidak akan susah makan. Tapi semurah itu kah? Bahkan dengan keadaan tak bermateri pun aku masih bisa melihat bahwa pertemanan itu tidak ada harganya, bukan tak berharga, tapi tak ternilai harganya.
Tadi pagi lebih parah lagi. Aku hendak pergi kerumahnya si Jun. Selama ini dia termasuk sahabat yang dekat dengan keluarga dikampung, sehingga jika ada apa dengan keluargaku, dia pasti tau. Begitu bertemu dengannya, belum sampai ku aturkan maksudku untuk meminjam uang kepadanya untuk menutup sewa kostku. ternyata ada hal lain yang diceritakannya.
“Kris, kau kenal motor itu?” Tangannya menunjuk motor yang parkir didalam rumahnya, di balik pintu.
“Itu seperti motorku yang dirumah.” Aku sedikit kaget. Karena memang benar-benar persis. Aku tidak memperhatikan motor itu ketika aku masuk rumah Jun.
“Iya, itu memang motormu. Dua bulan lalu bapakmu menggadaikan nya kepada ku. Katanya untuk biaya beli bibit dan pupuk untuk sawah. Sebenarnya janjinya hanya dua bulan, ya walau untuk hari ini belum jatuh tempo. Tapi aku mengerti kalau sebenarnya yang dijadikan harapan untuk menebusnya itu hasil panennya nanti. Tapi kita sama sama taulah. keadaan sekarang, petani banyak yang gagal panen. Dan jujur saja, aku juga sudah perlu dengan uang itu sekarang.”
Dan seperti kebingungan ku yang sudah beberapa hari ini ada. Kini kebingunganku semakin bertambah. Sejak kapan bapakku  menggadaikan motor itu. Padahal motor itu baru ku ambil sebelumnya,m untuk di pakai keluarga dirumah. Dengan uang muka satu juta, dan aku baru bisa mambayar cicilannya 2 bulan ini. Dan sekarang motornya pun di gadaikan?
Ini seperti mencari pertolongan kepada orang yang justru akan membunuh kita. Walau ini sepenuhnya bukan salah dia. Dan jika sudah seperti ini, ketegaranku yang tersisa, hanya bisa menyampaikan perihal maaf yang dalam.
“Sejujurnya Jun. Aku tidak tahu sama sekali kalau motor ini digadaikan kepadamu. Tapi beri aku sedikit waktu untuk bisa mencari uang tebusannya.”
Janji lagi, hutang lagi. Dan sore ini benar-benar membuat aku gila. Semakin gila saja. Satu-satunya harta hanya sebuah ponsel seharga lima ratus ribu ketika baru. Kalau kini kujual pula, mungkin dua ratus ribu saja sudah mahal. Dan mungkin hanya cukup untuk makan saja. Lalu bagaimana dengan hutang yang berpuluh juta itu? Kredit motor. Hutang ke teman selama aku tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupku sendiri?
Kesalahan memang kenapa dua bulan lalu itu aku mengambil kredit motor. Bukankah seharusnya uang muka itu, kupakai untuk membayar hutang ke temanku dulu. Setidaknya menyicil. Ah, aku tidak bisa berpikir kala itu, ketika bapakku berpendapat jika aku tidak punya motor, maka aku tidak punya kaki.
Dan mungkin kesalahanku juga kenapa aku harus mengambil motor baru. Bukankah yang penting hanyalah ada motor? Mungkin kebodohanku pula kenapa aku bisa punya hutang sebanyak ini? Ikut MLM senilai jutaan aku daftarkan saja. Ternyata aku malah buntung tidak dapat apa-apa. Belum lagi aku dituntut oleh downline ku karena aku di anggap menipu. Padahal yang seharusnya bertanggungjawab adalah perusahaan. Tapi beginilah nasibku ternyata.
Dan hutang puluhan juta terpaksa aku mengambil dari beberapa temanku yang mau meminjamkan uangnya untukku. Untuk membayar dua downline yang totalnya senilai 20 juta. Jika sudah seperti ini apa yang bisa kulakukan?
Ah, jangankan untuk membayar hutang senilai dua puluh juta. Jangankan membayar tebusan gadai motor senilai tiga juta. Jangankan membayar kost senilai satu juta. Untuk sarapan besok pagi pun mungkin hanya bisa membeli mie instan. Sisa makan malam ini.
Beep Beep. Ponselku bergetar. Sebuah sms. SMS? aku ingin mengingat sudah berapa lama aku tidak memiliki paket data. Komunikasi hanya dengan sms. Ingin menertawakan diri sendiri. Betapa nelangsanya hidupku. Padahal sebagian besar teman-temanku berada di media sosial, yang dimana hanya lewat internet aku bisa menghubungi mereka.
“bro, Ayo Join! ada peluang bisnis bagus bro. modal hanya 500rb berpotensi mendapatkan keuntungan 80jt. kapan kita bisa ketemu?”
Aku tertawa terbahak seketika. Setidaknya ini sebuah hiburan. Kau tertipu apa ingin menipu? Lalu tawaku lebih kencang lagi setelah ingat diriku sendiri. Kenestapaan yang lucu. Disaat seperti ini, adakah cara lain menikmati kenestapaan ini? derita yang sudah tidak layak untuk di ratapi. Hanya bisa di tertawakan. Tiba-tiba aku merasa, mungkin orang-orang yang gila di luar sana lupa caranya menertawakan masalah hidupnya, sehingga mereka gila. Atau mungkin aku sudah gila tapi aku tak sadar diri?
Beep beep. Bunyi sms lagi. Memang orang orang yang yang ingin prospek akhir-akhir ini lebih agresif.
“Bro, Ngopi. Posisi dimana?”
“Jemput di kost. cuma ngopi kan? bukan prospek MLM kan?” Balasku cepat.
“hahahaha, mestinya aku yang tanya begitu.”
Senyum tipis menggelitik batinku. memang seharusnya aku yang ditanya seperti itu. Jika aku masih sama dengan beberapa bulan lalu sebelum aku senelangsa ini.
-- -- --
“Masalahmu berat Kris. Tapi setidaknya dirimu bisa tertawa lah. hahahaha” Kopi hitam ditegukan terakhir telah diminumnya. Dan itu menandakan dia sudah mendengar semua masalahku malam ini. Termasuk akan bertambah menjadi masalah jika seandainya kopi malam ini pun harus aku yang membayarnya.
Namanya kolik, temanku ketika bekerja jadi Office boy dulu. Tapi dia sudah lama keluar, aku hanya sempat bekerja sama selama seminggu.
“Aku pernah mengalami hal demikian. Jatuh sejatuh jatuhnya. Hutang menumpuk. Tidak ada pekerjaan. Tidak ada muka untuk pulang. Aku bisa menawarkan sedikit solusi kepadamu. Jika kau mau.”
“Apa itu?” Sahutku sembari menajamkan penglihatan dan pendengaranku.
“Pertama, aku bisa menampung mu di kost-ku. Soal makan kita cari sama-sama. Tapi untuk tempat tinggal. kau tentu sudah ada tujuan. Yang Kedua, aku bisa memberimu pinjaman untuk menebus motormu. Sebenarnya bukan menebusnya, hanya saja aku minta motor itu kau gadaikan kepadaku. Tapi karena kita tinggal bersama, ku ijinkan engkau memakainya. Dan setelah motor itu sudah ada di tangan kita. Kau bisa gunakan untuk bekerja. Entah kau mendaftar ojek online. atau jadi salesman yang berjalan kesana kemari. Yang penting ada usaha dulu.”
Aku hanya menatapnya. Aku ingin bilang iya, tapi aku terlalu kaget dengan tawarannya. Seorang yang hanya pernah bertemu denganku seminggu. Sepercaya itukah kepadaku?
“Itu pun jika kau mau?” lanjutnya lagi.
“Tentu saja aku mau” lanjutku cepat. Takut-takut ia berubah pikiran. “Jika boleh tau. Apa kau percaya padaku dengan meminjamkan uang kepadaku?”
“hahahaha. Kau lupa atau tidak tahu Kris? Siapa yang membuatku benar-benar bersemangat? Presentasimu setiap kali kau prospek teman temanmu. Aku tahu bagaimana caramu meyakinkan mereka dan aku pun yakin. Tapi memang aku tidak sepenuhnya percaya dengan Upline mu itu. Lalu beberapa minggu kemudian, ada temanku menawariku MLM dari perusahaan beda. Ternyata lebih bagus. Dan satu hal yang aku yakin, kau pasti bertanggungjawab. Aku belum pernah melihat seorang upline MLM membayar ganti rugi kepada downlinenya karena di tipu oleh orang-orang top level. dan itu hanya dirimu Kris”
seketika aku terdiam.
“Lagi pula, aku di MLM ini juga tidak terlalu tinggi levelku, juga pendapatanku. Jadi aku juga masih sering jualan barang barang lain. Ya kita sales barang barang lah nanti Kris.”
Entah air mata yang tiba-tiba membasahi pipiku ini karena aku berhutang kembali kepada orang lain, atau karena aku telah ditolong oleh orang lain? Setidaknya aku tersenyum karena esok, masih ada atap yang rela ku singgahi untuk berteduh.

Comments