Budaya Bekerja
Animasi Jepang itu sengaja aku pilih untuk menggambarkan bagaimana budaya kerja yang menurutku seharusnya dijalankan. Aku tidak ingin memberikan detil detil bagaimana bekerja di jepang. Tetapi kita tau, untuk saat ini, etos kerja paling tinggi dari warga benua Asia, peringkat tertinggi masih ada di Jepang. Bukan berarti orang orang di Indonesia tidak giat bekerja. Walau secara pribadi, aku berani mengatakan bahwa rata rata orang Indonesia tidak giat bekerja. dengan kata kasarnya “Pemalas”.
Bagaimana tidak pemalas? banyak diantara kita yang bekerja di perusahaan besar sering kali berpikir; “ah, santai saja. nanti juga ada yang bantuin.” Oke, pasti ada yang bantuin. Itu betul. Tetapi kalau semuanya nungguin di bantuin, lalu siapa yang bantuin?
Seseorang membantu juga bukan karena mereka punya waktu untuk membantu. Bukan pula mereka bisa membantu pekerjaanmu. Tapi sebenarnya karena orang orang yang membantumu ini pekerjaanya tidak akan selesai jika pekerjaanmu tidak selesai. Jadi, mereka bukan membantumu, tetapi mempercepat pekerjaannya selesai.
Kadang-kadang juga diantara kita sering sekali mengatakan, “Ah kerja jangan diforsir terus donk. Besok masih bisa dikerjain” Untuk kalimat seperti ini, aku kadang masih bisa menerima, jika memang keadaan tubuh sudah terlalu lelah dan memang pekerjaanya bisa dilanjutkan kemudian hari. Kita juga perlu untuk beristirahat. Aku pun demikian jika sudah terlajur kelelahan. Memejamkan mata sejenak, mungkin 10-15 menit. Tetapi bagiku itu hal yang sebisa mungkin kuhindari.
Dan aku selalu mencoba untuk mengingat bagaimana pekerjaanku esok jika hari ini tidak kuselesaikan, setidaknya aku ada perkembangan dengan pekerjaanku hari ini. Bukan hanya stack tidak bisa melanjutkan.
Budaya kerja yang kebanyakan kutemui saat ini adalah budaya yang bagaimana bekerja sedikit, dan menghasilkan banyak penghasilan. Bekerja hanya dengan sedikit tenaga, sedikit berpikir, dan sedikit tekanan. Tetapi tetap dengan penghasilan yang memadai untuk kehidupan, layak untuk gaya hidup, juga pendapatan yang tetap untuk menunjang keberlangsungan pembayaran kredit.
Jangan tersinggung untuk teman teman yang punya kredit, tidak ada masalah dengan kreditmu. yang menurutku budaya kurang baik adalah, ketidak produktifitasnya dirimu (mungkin juga diriku). Budaya kerja yang tidak begitu produktif, adalah budaya yang akan menghambat kita sendiri untuk berkembang.
Coba bayangkan seandainya kamu punya ide kecil saja untuk mempermudah pekerjaanmu. Tetapi lingkunganmu tidak mendukung dengan alasan “ah, kayak biasanya aja udah bisa jalan, gak usah dibikin ribet”. Padahal, ide kecilmu itu hanya ribet di awal, hanya mungkin 1-2 minggu. Dan minggu minggu berikutnya dijamin lebih mudah. Bukankah yang dimikian akan menumpulkan idemu. Kalau saja idemu ditolak dengan alasan ada ide yang lebih baik untuk di terapkan, maka sikap lapangdadamu akan membuka pintu pikiranmu untuk menemukan ide ide berikutnya.
Budaya kerja di lingkunagan kita menentukan bagaimana kita bisa bekerja dengan baik atau tidak. Dan seperti yang kucontohkan diatas. Jika aku yang berada di tempat yang demikian, mungkin paling lama aku bertahan hanya 3 bulan. Jika temanku, mungkin bisa kurang dari itu.
Untukku pribadi, budaya kerja yang menurutku bisa membuatku berkembang adalah, tempat dimana para individunya begitu antusias dengan pekerjaaanya. ini hal pertama untuk mendukung bagaimana suasana kerja bisa lebih produktif. Suasana kerja bisa lebih mengembangkan pengentahuan dan wawasan.
Suasana kerja yang kondusif dan lebih kompetitif untuk menelurkan ide ide baru adalah tempat dimana setiap kalimat dari kepalamu akan didengarkan. Artinya, bahwasannya ide sekecil apapun darimu akan dihargai sebagaimana ide ide basar lainnya, meski pada akhirnya tidak dipakai.
Budaya kerja seperti inilah yang seharusnya bisa kita dapatkan. Alih alih membuat budaya kerja demikian, kita justru terseret dalam kondisi budaya yang sudah mengakar. Sehingga untuk bisa mengubah cara pandang kita, kita perlu menjauhi lingkungan yang demikian.
Dan mengenai budaya kerja yang seperti ini, aku teringat dengan pimpinan di tempat kerjaku 7 tahun lalu. aku pernah melakukan 2 kesalahan besar. Yang pada saat itu, kapasitas kemampuanku belum mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Walau jelas itu kesalahanku. tetapi oleh pinpinanku tidak di berikan sanksi atau aku disalahkan. Tetapi pertanyaan beliau adalah, “jadi kesalahannya dimana? kita carikan solusinya”.
Fokusnya ada pada solusinya, itulah kenapa aku selalu suka dengan kondisi dimana, tidak peduli siapa yang salah, atua seperti apa kesalahannya. Solusi yang adil dan menyelesaikan itu yang mesti kita cari. Mengenai sangsi karena kesalahan itu hal yang bisa di tunda.
Produktifitas
Istilah produktif sangat berbeda jauh dengan sibuk. Kebanyakan orang yang produktif itu sibuk. Sebenarnya tidak juga. Bukan sibuk, tetapi kebanyakan orang yang produktif bisa memilih, mana yang lebih perlu diutamakan. Mereka menyeleksi kegiatan yang menurut mereka membawa dampak yang lebih baik kedepannya. Apakah kemudian menganggap kita (yang ingin menemuinya) tidak penting? Yang demikian bukan pemikiranku.
Orang sibuk akan merasa tugasnya begitu banyak. Sedangkan orang yang produktif akan menyelesaikan lebih dulu mana yang memang harus diselesaikan lebih dulu. Kenyatannya tidak semuanya dari pekerjaan itu bisa di selesaikan. Perlu dipilih mana prioritas, dan mana yang bisa di tunda. sehingga ada “sedikit” waktu untuk bisa menimati diri sendiri.
Produktivitas bisa diukur dari seberapa cepat, banyak, dan bagus pekerjaanya selesai. Cepat berarti waktu yang dihitung. Artinya segala peerjaanya dihitung dengan waktu. Banyak, artinya pada kuantitas, pada jumlah yang bisa diukur. Dan bagus, ada pada kualitas.
Ketiga faktor ini cukup untuk menilai apakah seseorng itu memiliki produktifitas yang baik. Bahkan untuk pekerjaan jasa yang tidak menghasilkan produk nyata apapun. Semisal mengukur produktifitas tukang sapu jalanan. Mengukurnya dari waktu, dicompare dengan panjang x lebar jalan yang disapu. Dan tentu saja juga akan dikompare seberapa bersih hasilnya, dan seberapa kotor sebelumnya.
Tolok ukur untuk mengukur produktifitas inilah yang mestinya banyak orang memahami. Untuk apa? Untuk bisa menyamakan produktivitas setiap individu. Ini berhubungan dengan budaya kerja. Dimana setiap individu bisa mengukur, seberapa produktiv rakannya. Atau seberapa tidak produktif teman teman dalam team-nya.
Kembali kepada budaya kerja dimana kita berada. Anggap saja setiap individu memiliki tolok ukur yang sama untuk menilai seberapa produktif rekan kerjanya. Bahkan orang pemalas pun akan menjauhi orang yang malas. Karena bisa dijamin, si pemalas itu tidak akan membantu pekerjaannya.
Dan beda jika berada di tempat yang bisa mengembangkan kita. Setiap dari individu akan memberikan bantuan untuk membantu menaikkan produktifitas kita. Bisa berupa motivasi, bisa berupa ajakan untuk terus beraktifitas (Berpikir dan bertindak) bisa juga dengan tekanan atau tantangan untuk semakin mengembangkan kita.
'Bekerjalah tanpa suara, dan biarkan kesuksesan Anda yang berbunyi nyaring.' -Frank Ocean
Rasa Malu
Rasa malu dalam bekerja yang ku maksud adalah, malu kita ternyata produktifitas kita kurang daripada teman teman lainnya. Seringkali ketika aku mengalami kesulitan yang aku belum pernah menemuinya, dan aku belum bisa menyelesaikannya sampai beberapa jam, membuatku frustasi. Perasaan malu bahwa aku tidak lebih produktif dari rekan rekan kerjaku membuatku berani untuk bertanya, bagaimana menyelesaiannya. Karena kesadaran, bahwa jika ini belum bisa diselesaikan, justru akan menganggu pekerjaan rekan rekan yang bergantung dengan hasil pekerjaanku. Ini semacam pengalam pribadi.
Yang aku coba ingin tau adalah, seberapa banyak teman temanku di luar sana memiliki rasa malu ketika pekerjaanya paling lama selesainya. Paling sedikit selesianya. Paling jelek hasilnya. Apakah juga demikian? Ok, aku berpikir positif, bahwasanya teman temanku juga akan malu kepada teman-nya.
Tetapi pertanyaanku yang lebih penting adalah, apa yang selanjutnya dilakukan?
Ada sebuah kasus dimana seorang teman resign dari tempat kerja, karena alasan dia tidak bisa menyelesaikan tugasnya seperti teman temannya. Sudah kelelahan dan tidak sanggup meneruskan. Aku tidak berniat menyalahkan keputusan seperti itu. Tetapi apakah itu satu satunya pilihan? Sedangkan pada kondisinya, dia tidaklah di pecat, melainkan mengundurkan diri.
Sedekat pengalamanku, hal yang kulakukan untuk mengejar ketertinggalanku adalah bertanya kepada rekan jika memang tidak tau caranya. Meminta sedikit bantuan jika memang terlalu banyak pekerjaanya. Pada dasarnya, tidak akan menolak teman untuk memmbantu, keculai setiap kali kerjaan kita mintai bantuan.
Rasa malu dalam bekerja seharusnya ada dalam diri, ketika produktifitas kita berada di bawah yang lain. Atau malulah jika produktifitas kita dibawah Tolok ukur yang seharusnya, jika took ukur itu lebih tinggi dari produktifitas rekan kerja kita.
Dan hingga kini, aku masih sering malu dalam bekerja.
#Surabaya, 27 July 2017. abdillahwahab
Comments
Post a Comment